A. Koleksi
Perpustakan Sekolah yang ideal
“Pagi itu, sebut saja namanya Bunga, sangat senang
melihat sebuah truk masuk ke sekolah. Tidak henti-hentinya mata Bunga menatap
satu persatu barang yang diturunkan dari dalam truk, kemudian lewat di
hadapanya sebut saja namanya Ranti seorang pustakawan yang kebetulan bertugas
untuk menerima barang tersebut. Tanpa ragu bunga bertanya kepada guru tersebut,
“ibu, apa to itu bu?” si guru menjawab “oh, itu buku baru nak, kiriman dari
pemerintah”, spontan bunga bersorak “horee…..kita dapat buku baru…..”kemudian si
Bunga mengajak teman-temanya untuk datang ke perpustakaan melihat buku-buku
yang baru datang dengan sangat antusias, namun begitu membuka satu persatu buku
baru tersebut, si bunga dan teman-temanya kecewa, karena buku baru tersebut
sama sekali tidak menyenangkan seperti yang ada dalam pikiran si bunga dan
teman-temanya. Si bunga berharap, buku baru tersebut berisi tentang cerita
anak-anak, dongeng, cerita bersambung dan lain sebagainya yang bernuansa
cerita. Namun kenyataanya buku baru tersebut hanya berisi buku-buku pelajaran
saja yang menurut mereka tidak menarik. Dengan berat hati akhirnya si bunga dan
teman-temanya beranjak pergi meninggalkan perpustakaan dengan perasaan kecewa”.
Sepenggal
cerita diatas, bukan hanya isapan jempol belaka dan barangkali terjadi dibanyak
sekolah. Keadaan semacam ini menggambarkan betapa perpustakaan sekolah saat ini
belum dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Kebanyakan perpustakaan
sekolah hanya mengkoleksi buku-buku pelajaran saja, dan sedikit buku-buku yang
bernuansa rekreatif atau fiksi. Hal ini sangat kontroversial dengan pendapat
Dian Sinaga[2] yang
mengatakan bahwa komponen koleksi perpustakaan sekolah di bawah ini :
NO
|
Jenis Komponen
|
Prosentase
|
1
|
buku teks
|
10 %,
|
2
|
alat peraga
|
5 %
|
3
|
Buku-buku referensi
|
15 %
|
4
|
Buku-buku tentang Perpustakaan
|
1 %
|
5
|
Bacaan Sehat (fiksi dan Keterampilan)
|
50 %
|
6
|
Bacaan tentang daerahnya
|
4 %
|
7
|
Buku-buku profesi guru
|
10 %
|
8
|
Buku-buku untuk anak luar biasa
|
5 %
|
Dari tabel
diatas, jelas terlihat bahwa prosentase koleksi perpustakaan terhadap buku-buku
yang bersifat rekreatif atau atau bacaan sehat hendaknya 50 % dari keseluruhan
koleksi yang dimiliki perpustakaan. Sedangkan buku-buku teks hanya disyaratkan
10 % dari keseluruhan koleksi yang dimiliki perpustakaan.
Jika
mengamati beberapa perpustakaan sekolah saat ini, koleksi yang dimiliki sebagian
besar merupakan koleksi buku teks atau buku pelajaran sehingga belum sesuai
dengan kebutuhan pemustaka. Hal ini terjadi karena sebagian besar koleksi
mereka merupakan koleksi pemberian pemerintah atau biasa dikenal dengan buku
drop-dropan pemerintah, sehingga jenis buku, judul buku, pengarang buku, subyek
buku sama antar satu sekolah dengan sekolah lain. Ditambah lagi dengan jumlah
eksemplar yang berlebihan, misalnya satu judul 50 eksemplar, sehingga terkesan koleksi
perpustakaan banyak eksemplar dengan sedikit variasi judul.
Jika
hal ini dibiarkan berlangsung terus menerus, maka dalam waktu tertentu
perpustakaan akan penuh dengan buku-buku yang tidak terpakai, tidak
dimanfaatkan karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan akhirnya dana pemerintah untuk
peningkatan kualitas pendidikan hanya terbuang sia-sia.
B.
KEGAGALAN PROYEK PEMERINTAH
Kebanyakan
sekolah terutama sekolah pemerintah, mendapatkan koleksi perpustakaan melalui dana
proyek pemerintah, baik APBD I, APBD II maupun APBN dan APBNP, dan pemberian
dana pemerintah tidak diberikan langsung kepada sekolah untuk mengelola atau
membelanjakan sendiri dana yang diberikan oleh pemerintah sesuai kebutuhan
sekolah itu sendiri. Namun dalam bentuk buku atau juga sarana prasaran lain
yang proses pengadaanya dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah. Tidak
salah sebenarnya ketika pemerintah melakukan proses pengadaan buku sendiri
untuk menghemat anggaran dan juga meminimalisir kesalahan dalam proses
pengadaan. Namun, kesalahanya adalah bahwa pengadaan buku proyek ternyata
sebagian besar tidak memenuhi target pemerintah dan tidak disesuaikan dengan
kebutuhan sekolah, yang akhirnya buku-buku tersebut tidak digunakan oleh
sekolah. Pertanyaannya adalah mengapa bisa terjadi kasus yang demikian?
Pertanyaan
ini barangkali seringkali menghinggapi pikiran para pemerhati dan praktisi
dibidang perpustakaan.
Masih
melekat diingatan kita mengenai kasus pengadaan buku ajar di Kota Salatiga yang
melibatkan beberapa oknum pejabat dilingkungan Pemerintah Kota Salatiga. Meskipun
awalnya kasus tersebut dihentikan, namun akhirnya pada bulan November tahun
2011[3]
para oknum yang awalnya dinyatakan tidak bersalah, namun sekarang para pelaku sudah
ada yang dimasukkan ke dalam hotel prodeo.
Belum lagi kasus dana bantuan pendidikan yang melibatkan mantan bupati
temanggung dan 6 mantan anggota DPRD temanggung periode 2001-2004 yang
tersandung kasus dana bantuan pendidikan putra-putri anggota DPRD Kabupaten
temanggung yang berkasnya sudah siap dilimpahkan ke Kejaksaan[4].
Ini sungguh ironi dengan tujuan pemerintah yang ingin meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia, namun ternyata disalahgunakan oleh oknum-oknum dalam
pemerintahan.
Kasus-kasus
semacam ini sudah menjadi pemandangan yang biasa dan lumrah di negeri kita ini.
hal ini menjadi indikator kegagalan pemerintah dalam melaksanakan proyek terutama
proyek peningkatan kualitas pendidikan salah satunya proyek pengadaan buku
sekolah maupun proyek pendidikan lainnya. Kita patut prihatin terhadap kondisi
ini, kita tidak pernah tahu sampai kapan kondisi semacam ini akan berlangsung.
Namun kita harus tetap optimis bahwa keadaan ini akan segara berubah bersama
dengan kepedulian semua pihak untuk melakukan hal yang baik dan benar untuk
kemajuan pemerintah utamanya dalam bidang pendidikan.
C. PENUTUP
Nasib
perpustakaan sekolah saat ini memang belum sebaik perpustakaan perguruan
tinggi, dimana perpustakaan perguruan tinggi memiliki kewenangan melakukan
pengadaan buku-buku sendiri sesuai yang dibutuhkan dan diinginkan oleh para
pemustaka sebagai custumer setia perpustakaan. Nasib perpustakaan sekolah saat
ini ibarat seperti gudang penyimpan buku proyek pemerintah pusat maupun daerah
saja, baik melalui dana APBN maupun APBD, tanpa dapat melakukan penolakan dan
penyesuaian dengan kebutuhan sekolah.
Melalui
tulisan ini penulis merasa ikut prihatin dengan kondisi beberapa perpustakaan
sekolah yang masih belum berfungsi sebagaimestinya. Penulis menghimbau kepada
pemerintah, baik daerah maupun pusat agar selektif dan transparan dalam
pelaksanaan proyek pengadaan buku yang nantinya akan disalurkan ke sekolah.
Proyek pemerintah hendaknya berorientasi pada kebutuhan sekolah, bukan
berorientasi yang lain, karena perpustakaan sekolah bukanlah gudang buku proyek
yang ketika dilihat saja tidak menarik, apalagi digunakan sebagai literature
untuk peningkatan kualitas pendidikan kita. Semoga bermanfaat….
[1] Pustakawan STAIN Salatiga dan Ketua IPI Kota Salatiga
[2] Dian Sinaga. Mengelola Perpustakaan Sekolah,
Bandung, Bejana, 2011
[3] http://bit.ly/ziO47u. Diakses pada Hari Selasa,
10 Januaru 2011, pukul 16.00 WIB.
[4]
Ibid. Diakses pada Hari Selasa, 10 Januaru 2011, pukul 16.30 WIB.
boleh dikopas y...
ReplyDeleteya silahkan aja, jika untuk kebaikan....monggo dicopas aja....
ReplyDelete