Monday 18 March 2013

PUSTAKAWAN HARUS PROFESIONAL : Menuju Sertifikasi Pustakawan



Itmamudin, SS
Ketua Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Kota Salatiga


A.      Realita Eksistensi Pustakawan
Pustakawan dan perpustakaan merupakan sesuatu yang tak terpisahkan, seperti dua sisi mata uang, dimana ada perpustakaan, maka idealnya disitu juga harus ada pustakawan. Namun pada kenyataanya, banyak sekali perpustakaan yang di dalamnya tidak ada pustakawan. Sehingga perpustakaan tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Bagi kebanyakan orang, profesi pustakawan merupakan profesi yang belum terlalu diperhitungkan, karena kebanyakan mereka menilai sebuah profesi diukur dengan besar kecilnya materi yang diperoleh. Sementara perhatian pemerintah sendiri untuk pustakawan saat ini juga belum seperti perhatiannya kepada profesi yang lain misalnya profesi dokter, hakim, jaksa dan profesi lainya.
Hal ini terjadi karena kebutuhan masyarakat akan perpustakaan belum seperti kebutuhan mereka akan profesi yang lain. Mereka lebih cenderung untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi terlebih dahulu sebelum menjadikan perpustakaan sebagai prioritas utama mereka.  wiji suwarno (2010 : 46) mengatakan bahwa perpustakaan masih merupakan keinginan (wants) dari pada kebutuhan (needs) bagi sementara orang. Ini artinya bahwa kesadaran dan kepentingan mereka terhadap perpustakaan sebagai sumber informasi mulai ada, mulai menggejala dan berkembang tetapi belum menjadi prioritas yang utama. Satu contoh dalam dunia kampus, sebenarnya banyak mahasiswa yang ingin berkunjung ke perpustakaan, ingin membaca buku, ingin meminjam buku, dan seterusnya, namun itu baru sebatas keinginan saja, belum diwujudkan dalam tindakan nyata dengan datang ke perpustakaan, kemudian di sana membaca buku, meminjam buku dan seterusnya.
Mahasiswa biasanya mau berkunjung ke perpustakaan manakala terbentur dengan keadaan yang memaksa, misalnya karena ada tugas dari dosen, atau menyelesaikan tugas akhir, sehingga mereka baru buru-buru ke perpustakaan. Akan berbeda manakala ketika perpustakaan sudah menjadi kebutuhan bagi mahasiswa, mereka akan datang ke perpustakaan baik ada ataupun tidak ada tugas dari dosen. Di satu sisi menjadikan perpustakaan yang representatif dan layak digunakan oleh masyarakat luas juga bukan sesuatu yang mudah dan menjadi tantangan bagi para pustakawan sebagai motor penggerak kemajuan perpustakaan.
Hal ini senada dengan ungkapan Sutarno (2005 : 13) bahwa faktor yang menyebabkan perpustakaan belum dapat berkembang dan masih belum bisa berdiri sendiri di antaranya adalah pengelola perpustakaan, sumber informasi dan masyarakat pengguna.  Pengelola perpustakaan yang dimaksud adalah pustakawan sebagai penentu kemajuan sebuah perpustakaan. Dibutuhkan kemampuan yang luar biasa untuk memajukan sebuah perpustakaan. Berbagai tantangan dan rintangan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perjuangan para pustakawan untuk memajukan perpustakaan.
Namun begitu, pustakawan tidak boleh berputus asa menghadapi tantangan tersebut, justru pustakawan harus senantiasa berusaha terus menerus tanpa merasa bosan untuk memperjuangkan perpustakaan dan organisasi pustakawan agar di perhatikan oleh pemerintah. Menjadi sebuah tugas rumah yang tidak ringan untuk mencapai hal ini, namun bukan sesuatu yang mustahil jika para pustakawan bersama-sama mengembangkan diri dan meningkatkan profesionalismenya dengan berbagai ketrampilan yang dimiliki.




B.      Apa yang harus dilakukan?
Menjadi pustakawan professional dan memperoleh predikat pustakawan bersertifikasi bukan sekedar mimpi di siang bolong saat ini. Pemerintah melalui Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor Kebudayaan, Hiburan Dan Rekreasi Bidang Perpustakaan Menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia menjadi angin segar bagi para pustakawan, meskipun masih melalui beberapa tahap lagi untuk pelaksanaanya. Namun setidaknya sudah mulai ada perhatian pemerintah terhadap profesi pustakawan. Adapun tujuan dari  Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Perpustakaan ini adalah:
1.       Meningkatkan profesionalisme pustakawan dalam menjalankan perannya sebagai mediator dan fasilitator informasi.
2.       Menjadi tolak ukur kinerja pustakawan.
3.       Menghasilkan pengelompokan keahlian pustakawan sesuai dengan standardisasi yang telah divalidasi oleh lembaga sertifikasi.
4.       Pustakawan memiliki standar dan kode etik dalam menjalankan profesinya
Menghadapi kondisi ke depan yang demikian, kemudian apa yang harus dilakukan oleh para pustakawan? Barangkali ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh para pustakawan untuk menghadapinya antara lain :
1.       Meningkatkan dan memperbaiki ketrampilan
a.       Ketrampilan Administrasi/manajemen
Seorang pustakawan dituntut untuk memiliki ketrampilan administrasi/manajemen. Ketrampilan ini sangat berguna  untuk mengatur semua tugas terkait dengan tugas kepustakawan maupun mengatur diri pustakawan tersebut dalam aktifitas sehari-hari. Sebagai seorang pustakawan, tentunya selalu berurusan dengan kegiatan pokoknya yaitu bekerja di perpustakaan dan selalu berhubungan dengan orang lain. Dengan kemampuan administrasi yang dimiliki oleh pustakawan, maka dapat digunakan dan diterapkan misalnya mencatat semua kegiatan yang dilakukan untuk kenaikan pangkat, menulis buku, membuat laporan dan lain sebagainya.
b.      Ketrampilan teknologi informasi dan komunikasi
Pustakawan harus memiliki kemampuan dibidang teknologi informasi dan komunikasi. Seperti kita ketahui bersama bahwa sebagian besar pustakawan kita merupakan pustakawan gatek (gagap teknologi) yang hal ini mau tidak mau sangat menghambat kemajuan dunia perpustakaan. Terkadang karena ketidakmauan mereka untuk mengenal teknologi informasi menjadikan mereka seolah menganggap teknologi informasi tidak penting, padahal kita tahu bahwa pemustaka sekarang ini berkembang kebutuhannya. Apabila pustakawan tidak menguasai teknologi, maka nantinya perpustakaan akan ditinggalkan oleh pemustaka.
c.       Pengetahuan kurikulum
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2007) kurikulum berarti perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan. Cakupanya berisi tentang uraian bidang studi yang terdiri dari beberapa macam mata pelajaran disajikan secara kait berkait. Fungsi perpustakaan sekolah menempati posisi yang sentral dalam penerapan kurikulum melalui proses belajar mengajar di sekolah. Oleh sebab itu, bagi seorang pustakawan apalagi pustakawan yang bekerja di perpustakaan di lingkup pendidikan, misalnya sekolah, perguruan tinggi, dan lingkup pendidikan yang lain, perlu menguasai atau memahami kurikulum dari institusi pendidikan dimana kita bekerja. Mengapa pustakawan harus mengetahui kurikulum?dengan mengetahui kurikulum dapat menjadi pedoman bagi pustakawan untuk mengembangkan dan mengarahkan kebijakan pengembangan koleksi perpustakaan. Akan diarahkan kemana koleksi perpustakaan kita, harus disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan dalam sebuah institusi pendidikan tersebut. Jadi tidak hanya asal saja dalam  melakukan pengembangan koleksi perpustakaan. Karena hal ini sangat berpengaruh pada tingkat keterpakaian dari koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan. Jika koleksi yang dimiliki sesuai dengan kurikulum, diharapkan koleksi perpustakaan dapat dimanfaatkan oleh pengguna dengan maksimal untuk menunjang proses belajar mengajar di institusi pendidikan tersebut.
d.      Ketrampilan literasi informasi
Literasi informasi sering disebut juga dengan keberaksaraan informasi atau kemelekan informasi. Dalam bidang ilmu perpustakaan dan informasi, literasi informasi sering dikaitkan dengan kemampuan mengakses dan memanfaatkan secara benar informasi yang tersedia.
Pengertian literasi informasi yang sering dikutip adalah pengertian literasi informasi dari American Library Association (ALA) :
“information literacy is a set of abilities requiring individuals to “recognize when information is needed and have the ability to locate, evaluate, and use effective needed information”.
Artinya bahwa literasi informasi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkannya, mengakses dan menemukan informasi, mengevaluasi informasi, dan menggunakan informasi secara efektif dan etis. (Naibaho, 2007: 7-8)

e.      Ketrampilan kepemimpinan
Setiap pustakawan diharapkan memiliki jiwa dan ketrampilan kepemimpinan. Menurut Ngalim Purwanto (1993: 26), jiwa Kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasi, suatu seni pembinaan kelompok orang-orang tertentu, biasanya melalui ‘human relations’ dan motivasi yang tepat, sehingga tanpa adanya rasa takut mereka mau bekerja sama dan membanting tulang memahami dan mencapai segala apa yang menjadi tujuan-tujuan organisasi”. kepemimpinan merupakan kemampuan untuk membangkitkan semangat orang lain agar bersedia dan memiliki tanggung jawab total terhadap usaha mencapai atau melampaui tujuan organisasi. Dengan memiliki jiwa kepemimpinan, seorang pustakawan dapat mempengaruhi semua orang di sekitarnya dalam arti positif. Hal ini tidak hanya berguna dalam berhubungan dengan sesama rekan dikantor, melainkan juga ketika berhubungan dengan pihak luar.
f.        Ketrampilan mengevaluasi
Kegiatan mengevaluasi merupakan salah satu kegiatan manajemen. Kegiatan ini biasanya didahului dengan kegiatan yang lain yaitu planing atau perencanaan, disusul implementasi atau  pelaksanaan pekerjaan. Biasanya evaluasi dilaksanakan ketika sebuah kegiatan sudah dilakukan secara keseluruhan. Namun akan lebih baik jika evaluasi selalu dilaksanakan tanpa harus menunggu sebuah kegiatan tersebut selesai. Kegiatan evaluasi dapat dilaksanakan bersamaan dengan planning diimplementasikan atau dilaksanakan hingga berakhir dengan evaluasi secara keseluruhan. Dengan kemampuan ini, seorang pustakawan dapat melakukan berbagai kegiatan yang sedikit sekali terjadi kesalahan. Karena evaluasi bertujuan untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan dalam pelaksanaan kegiatan. Jika terjadi kekurangan dapat dilakukan perbaikan dan jika terdapat kelebihan dapat terus ditingkatkan.
g.       Ketrampilan presentasi
Jika kita mengamati pustakawan saat ini, kita patut prihatin sekali dengan kemampuan mereka dalam presentasi. Presentasi adalah suatu kegiatan berbicara di hadapan banyak hadirin. Berbeda dengan pidato yang lebih sering dibawakan dalam acara resmi dan acara politik, presentasi lebih sering dibawakan dalam acara bisnis.
Tujuan dari presentasi bermacam-macam, misalnya untuk membujuk (biasanya dibawakan oleh wiraniaga), untuk memberi informasi (biasanya oleh seorang pakar), atau untuk meyakinkan (biasanya dibawakan oleh seseorang yang ingin membantah pendapat tertentu).
Agar dapat melakukan presentasi dengan baik, orang sering kali belajar pada para pakar presentasi. Namun ada juga dengan jalan mengamati pembicara terkenal yang pandai berbicara di hadapan umum. Para pembicara terkenal di Indonesia antara lain James Gwee, KH Abdullah Gymnastiar, Tung Desem Waringin, Andrie Wongso, Gede Prama, dan masih banyak lagi.
Keahlian berbicara di hadapan hadirin merupakan hal yang sangat penting bagi siapa pun yang ingin maju. Banyak presiden, manajer, wiraniaga, dan pengajar yang menjadi sukses dan terkenal lewat keahlian berpresentasi.

h.      Ketrampilan promosi/pemasaran
Bagi seorang pustakawan, ketarmpilan promosi atau pemasaran  menjadi salah satu ketrampilan yang harus dimiliki. Karena perpustakaan merupakan salah satu lembaga nirlaba, maka pemasaran menjadi persoalan yang utama. Jika pustakawan tidak dapat melakukan kegiatan promosi atau pemasaran, maka dikhawatirkan informasi yang dimiliki oleh perpustakaan tidak akan pernah sampai kepada pemustaka.
Kotler (1995:13) mengatakan bahwa manajemen pemasaran merupakan proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi serta penyaluran barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan tujuan-tujuan individu dan organisasi. Jika dikaitkan dengan perpustakaan maka, pertanyaan utamanya adalah siapa pemakai utama perpustakaan, apa yang dibutuhkan, apa yang dapat dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan pemakai, dan dengan cara apa pustakawan dapat memenuhi.
Sejumlah pertanyaan tersebut dapat dijadikan dasar dalam menjalankan aktifitasnya sebagai pustakawan. Sehingga tidak ada lagi alasan bahwa kegiatan promosi atau pemasaran bukan lagi merupakan kegiatan yang tidak perlu. Justru sebaliknya sangat diperlukan dan harus dilakukan oleh setiap pustakawan yang bekerja diperpustakaan.

i.         Subject expertise
Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai keahlian menganalisis subjek. Maksudnya adalah bahwa seorang pustakawaan dituntut untuk memiliki kemampuan menganalisa apa kebutuhan dari orang yang berhubungan dengan perpustakaan. Misalnya dalam kasus kecil menganalisa kebutuhan dari pengunjung perpustakaan, sehingga ketika para pengguna datang dengan tidak membawa bekal apapun, dapat diketahui kebutuhan mereka apa, kemudian dapat memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan mereka. Contoh lain misalnya perpustakaan ingin melakukan perubahan dan pengembangan, maka seorang yang memiliki jiwa ini, dia dapat langsung merespon kebutuhan apa saja yang dibutuhkan dan harus melakukan apa untuk memenuhinya.
j.        Ketrampilan penelitian/penulisan
Menulis merupakan ekspresi dan eksistensi diri, sudah selayaknya seorang pustakawan memiliki kemampuan menulis. Seperti kita tahu bahwa kegiatan penulisan turut andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan profesi dan kemajuan seseorang. Menurut l  Lasa HS (2009:1) mengatakan bahwa ilmuwan termasuk pustakawan yang tidak memiliki kemampuan menulis ibarat burung bersayap satu. Yang dapat dilakukannya  hanyalah terbang dari satu dahan ke dahan yang lain. Ilmuwan yang memiliki kemampuan menulis ibarat burung bersayap dua. Burung tersebut mampu terbang kemanapun dia mau bahkan terbang antar benua. Ini berarti bahwa seorang ilmuwan yang memiliki kemampuan menulis mencapai keberhasilan sesungguhnya, sebab semua gagasan, ide, pemikiran dan hasil penelitian dapat diketahui dan digunakan oleh masyarakat.
Sebagaimana kita tahu bahwa pustakawan memiliki pengalaman yang luar biasa banyak, namun sebagian besar pustakawan tidak mau menulis. Dari bahan kuliah yang sederhana saja, sebenarnya dapat dijadikan buku untuk menambah dan memperbanyak khazanah kelimuan perpustakaan. Namun kebanyakan pustakawan beralasan bahwa mereka adalah pustakawan bukan penulis. Sementara itu, banyak sekali majalah ilmu perpustakaan dan informasi yang mengeluh kekurangan naskah (Sulistyo-Basuki: 2006:12). Ini menjadi realita dalam dunia pustakawan kita. Ini juga menjadi tantangan yang sekaligus juga menjadi peluang bagi para pustakawan, jika kita semua senantiasa berusaha untuk belajar menulis, mengekspresikan diri melalui tulisan untuk memberi warna dalam dunia pustakawan kita.

k.       Ketrampilan mengajar
Ketarmpilan mengajar harus dimiliki oleh seorang pustakawan yang professional. Baik langsung atau tidak langsung, kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh seorang pustakawan dalam menularkan ilmunya kepada orang lain.  Minimal dalam memberitahukan kepada pengunjung mengenai segala hal yang terkait dengan perpustakaan, misalnya peraturan, tata tertib, kebijakan, dan lain sebagainya. Jika seorang pustakawan tidak memiliki ketrampilan dalam mengajar, sangat dimungkinkan pengunjung perpustakaan tidak dapat mengeksplor perpustakaan dengan maskimal. Untuk memperoleh ketrampilan ini, seorang pustakawan dapat belajar melalui buku, internet, ataupun juga bertanya bagaimana cara mengajar kepada pustakawan-pustakawan senior, ataupun juga dapat bertanya langsung kepada para pengajar ditempat dimana pustakawan bekerja, pada dosen atau guru dapat menjadi alternatif bagi pustakawan untuk memperoleh ketrampilan dalam mengajar.
2.       Meningkatkan dan menambah ilmu pengetahuan
a.       Pendidikan Formal
Untuk meningkatkan pengetahuan para pustakawan dapat dilakukan melalui pendidikan formal kepustakawanan. Upaya lintas dapat dilakukan dengan berbagai kursus penyetaraan, pelatihan dengan kuot jam tertentu walaupun kemudian banyak dikritik perguruan tinggi dan lembaga pendidikan pustakawan. Menurut Sulistyo Basuki (2006:11) mengatakan bahwa jika berpegang pada konsep pustakawan professional dan menghadapi Asean Free Trade Area (AFTA), yang diusulkan berlaku tahun 2020 dan dilakukan percepatan tahun 2015, maka lambat atau cepat AFTA akan diikuti oleh pergerakan tenaga kerja lintas batas Negara seperti Uni Eropa sekarang. Oleh sebab itu lembaga pendidikan harus menghasilkan pustakawan yang memiliki kemampuan keilmuan berbahasa minimal inggris dan penguasaan teknologi. Setidaknya tenaga yang mampu mengikuti AFTA adalah tenaga yang professional yang memiliki ijazah ilmu perpustakaan dan informasi minimal s1 ilmu perpustakaan dan informasi. Oleh sebab itu, sangat penting bagi pustakawan untuk senantiasa manambah pengetahuan melalui pendidikan formal. Namun yang terjadi dilapangan terkadang sebaliknya, lembaga atau pimpinan seringkali berifikir instant mereka lebih senang mengirimkan tenaga non pustakawan yang memiliki ijazah sarjana non pustakawan untuk mengikuti diklat pustakawan yang hanya 4 bulan selesai, dibandingkan harus mengirimkan tenaga yang lulusan SMA atau sarjana untuk mengikuti pendidikan pustakawan secara penuh. Banyak pertimbangan yang menjadi alasan para pimpinan dalam hal ini, misalnya biaya, waktu dan lain sebagainya. Mudah-mudahan ke depan para pimpinan sadar bahwa kebutuhan pustakawan yang berkualitas yang ditunjang dengan pendidikan profesional pustakawan sangat diperlukan dalam jangka panjang dibandingkan dengan pengiriman tenaga sarjana non pendidikan pustakawan untuk mengikuti diklat penyetaraan, apapun alasanya.
b.      Pendidikan Non Formal
Memperoleh ilmu pengatahuan dapat dilakukan oleh para pustakawan untuk terus meningkatkan profesionalimenya dalam bekerja. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa pendidikan nonformal dapat dilakukan setelah pendidikan secara formal sudah didapatkan. Ini berarti bahwa pendidikan non formal hanya dilakukan sebagai sarana untuk menambah ilmu pengetahuan, karena untuk menjadi seorang pustakawan yang profesional harus mengenyam pendidikan minimal D2 Ilmu perpustakaan di tambah dengan Diklat sistem 36 jam. Ini berarti bahwa, bagi seorang pustakawan pendidikan formal adalah lebih utama dibandingkan dengan pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal misalnya pendidikan bahasa inggris, pendidikan komputer, kursus pemrograman, kursus ketrampilan dan lain sebagainya yang sebenarnya tidak termasuk dalam kurilkulum pendidikan formal perpustakaan namun hal ini dapat menambah kemampuan bagi para pustakawan.




DAFTAR PUSTAKA
Sutarno NS, 2005. Tanggungjawab perpustakaan dalam mengembangkan masyarakat informasi, Jakarta : Panta Rei
Suwarno, Wiji, 2010. Ilmu Perpustakaan dan Kode Etik Pustakawan. Jakarta: Arruz Media
Sulistyo-Basuki. 2006. Upaya meningkatkan peran pustakawan dalam mendukung kinerja perpustakaan. Media Pustakawan : Media Komunikasi Antar Pustakawan. 12 (3-4) September/Desember 2005 : 11-12
Lasa H.S. 2009. Menulis itu ekspresi dan Eksistensi Diri. Jogjakarta:Makalah Pelatihan  bagi sivitas akademika UGM.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Purwanto,  M. Ngalim. 1993. Psikologi Pendidikan, Bandung:Remaja Rosda Karya

Kotler. Philips. 1995. Manajemen Pemasaran : Analisis Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian. Jakarta : Salemba Empat. 

Diterbitkan Oleh : Media Pustakawan Tahun 2012

No comments:

Post a Comment