Itmamudin,
SS
Ketua
Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Kota Salatiga
A.
Realita Eksistensi
Pustakawan
Pustakawan dan perpustakaan
merupakan sesuatu yang tak terpisahkan, seperti dua sisi mata uang, dimana ada
perpustakaan, maka idealnya disitu juga harus ada pustakawan. Namun pada
kenyataanya, banyak sekali perpustakaan yang di dalamnya tidak ada pustakawan.
Sehingga perpustakaan tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik.
Bagi kebanyakan orang, profesi pustakawan merupakan profesi yang belum terlalu
diperhitungkan, karena kebanyakan mereka menilai sebuah profesi diukur dengan besar
kecilnya materi yang diperoleh. Sementara perhatian pemerintah sendiri untuk
pustakawan saat ini juga belum seperti perhatiannya kepada profesi yang lain
misalnya profesi dokter, hakim, jaksa dan profesi lainya.
Hal ini terjadi karena kebutuhan
masyarakat akan perpustakaan belum seperti kebutuhan mereka akan profesi yang
lain. Mereka lebih cenderung untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi terlebih
dahulu sebelum menjadikan perpustakaan sebagai prioritas utama mereka. wiji suwarno (2010 : 46) mengatakan bahwa
perpustakaan masih merupakan keinginan (wants)
dari pada kebutuhan (needs) bagi
sementara orang. Ini artinya bahwa kesadaran dan kepentingan mereka terhadap
perpustakaan sebagai sumber informasi mulai ada, mulai menggejala dan
berkembang tetapi belum menjadi prioritas yang utama. Satu contoh dalam dunia
kampus, sebenarnya banyak mahasiswa yang ingin berkunjung ke perpustakaan,
ingin membaca buku, ingin meminjam buku, dan seterusnya, namun itu baru sebatas
keinginan saja, belum diwujudkan dalam tindakan nyata dengan datang ke
perpustakaan, kemudian di sana membaca buku, meminjam buku dan seterusnya.
Mahasiswa biasanya mau
berkunjung ke perpustakaan manakala terbentur dengan keadaan yang memaksa,
misalnya karena ada tugas dari dosen, atau menyelesaikan tugas akhir, sehingga
mereka baru buru-buru ke perpustakaan. Akan berbeda manakala ketika
perpustakaan sudah menjadi kebutuhan bagi mahasiswa, mereka akan datang ke
perpustakaan baik ada ataupun tidak ada tugas dari dosen. Di satu sisi
menjadikan perpustakaan yang representatif dan layak digunakan oleh masyarakat
luas juga bukan sesuatu yang mudah dan menjadi tantangan bagi para pustakawan
sebagai motor penggerak kemajuan perpustakaan.
Hal ini senada dengan ungkapan
Sutarno (2005 : 13) bahwa faktor yang menyebabkan perpustakaan belum dapat
berkembang dan masih belum bisa berdiri sendiri di antaranya adalah pengelola
perpustakaan, sumber informasi dan masyarakat pengguna. Pengelola perpustakaan yang dimaksud adalah
pustakawan sebagai penentu kemajuan sebuah perpustakaan. Dibutuhkan kemampuan
yang luar biasa untuk memajukan sebuah perpustakaan. Berbagai tantangan dan
rintangan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perjuangan para pustakawan
untuk memajukan perpustakaan.
Namun begitu, pustakawan tidak
boleh berputus asa menghadapi tantangan tersebut, justru pustakawan harus
senantiasa berusaha terus menerus tanpa merasa bosan untuk memperjuangkan
perpustakaan dan organisasi pustakawan agar di perhatikan oleh pemerintah.
Menjadi sebuah tugas rumah yang tidak ringan untuk mencapai hal ini, namun
bukan sesuatu yang mustahil jika para pustakawan bersama-sama mengembangkan
diri dan meningkatkan profesionalismenya dengan berbagai ketrampilan yang
dimiliki.
B.
Apa yang harus
dilakukan?
Menjadi pustakawan professional
dan memperoleh predikat pustakawan bersertifikasi bukan sekedar mimpi di siang
bolong saat ini. Pemerintah melalui Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Sektor
Kebudayaan, Hiburan Dan Rekreasi Bidang Perpustakaan Menjadi Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia menjadi angin segar bagi para pustakawan, meskipun
masih melalui beberapa tahap lagi untuk pelaksanaanya. Namun setidaknya sudah
mulai ada perhatian pemerintah terhadap profesi pustakawan. Adapun tujuan dari Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Bidang Perpustakaan ini adalah:
1.
Meningkatkan profesionalisme pustakawan dalam menjalankan perannya
sebagai mediator dan fasilitator informasi.
2.
Menjadi tolak ukur kinerja pustakawan.
3.
Menghasilkan pengelompokan keahlian pustakawan sesuai dengan
standardisasi yang telah divalidasi oleh lembaga sertifikasi.
4.
Pustakawan memiliki standar dan kode etik dalam menjalankan profesinya
Menghadapi
kondisi ke depan yang demikian, kemudian apa yang harus dilakukan oleh para
pustakawan? Barangkali ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh para
pustakawan untuk menghadapinya antara lain :
1.
Meningkatkan dan memperbaiki
ketrampilan
a. Ketrampilan Administrasi/manajemen
Seorang pustakawan
dituntut untuk memiliki ketrampilan administrasi/manajemen. Ketrampilan ini
sangat berguna untuk mengatur semua
tugas terkait dengan tugas kepustakawan maupun mengatur diri pustakawan
tersebut dalam aktifitas sehari-hari. Sebagai seorang pustakawan, tentunya
selalu berurusan dengan kegiatan pokoknya yaitu bekerja di perpustakaan dan
selalu berhubungan dengan orang lain. Dengan kemampuan administrasi yang
dimiliki oleh pustakawan, maka dapat digunakan dan diterapkan misalnya mencatat
semua kegiatan yang dilakukan untuk kenaikan pangkat, menulis buku, membuat
laporan dan lain sebagainya.
b.
Ketrampilan teknologi informasi
dan komunikasi
Pustakawan harus memiliki kemampuan dibidang teknologi
informasi dan komunikasi. Seperti kita ketahui bersama bahwa sebagian besar
pustakawan kita merupakan pustakawan gatek (gagap teknologi) yang hal ini mau
tidak mau sangat menghambat kemajuan dunia perpustakaan. Terkadang karena
ketidakmauan mereka untuk mengenal teknologi informasi menjadikan mereka seolah
menganggap teknologi informasi tidak penting, padahal kita tahu bahwa pemustaka
sekarang ini berkembang kebutuhannya. Apabila pustakawan tidak menguasai
teknologi, maka nantinya perpustakaan akan ditinggalkan oleh pemustaka.
c.
Pengetahuan kurikulum
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (2007) kurikulum
berarti perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan.
Cakupanya berisi tentang uraian bidang studi yang terdiri dari beberapa macam
mata pelajaran disajikan secara kait berkait. Fungsi perpustakaan sekolah
menempati posisi yang sentral dalam penerapan kurikulum melalui proses belajar
mengajar di sekolah. Oleh sebab itu, bagi seorang pustakawan apalagi pustakawan
yang bekerja di perpustakaan di lingkup pendidikan, misalnya sekolah, perguruan
tinggi, dan lingkup pendidikan yang lain, perlu menguasai atau memahami
kurikulum dari institusi pendidikan dimana kita bekerja. Mengapa pustakawan
harus mengetahui kurikulum?dengan mengetahui kurikulum dapat menjadi pedoman
bagi pustakawan untuk mengembangkan dan mengarahkan kebijakan pengembangan
koleksi perpustakaan. Akan diarahkan kemana koleksi perpustakaan kita, harus
disesuaikan dengan kurikulum yang digunakan dalam sebuah institusi pendidikan
tersebut. Jadi tidak hanya asal saja dalam
melakukan pengembangan koleksi perpustakaan. Karena hal ini sangat berpengaruh
pada tingkat keterpakaian dari koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan. Jika
koleksi yang dimiliki sesuai dengan kurikulum, diharapkan koleksi perpustakaan
dapat dimanfaatkan oleh pengguna dengan maksimal untuk menunjang proses belajar
mengajar di institusi pendidikan tersebut.
d.
Ketrampilan literasi informasi
Literasi informasi sering disebut juga dengan keberaksaraan
informasi atau kemelekan informasi. Dalam bidang ilmu perpustakaan dan
informasi, literasi informasi sering dikaitkan dengan kemampuan mengakses dan
memanfaatkan secara benar informasi yang tersedia.
Pengertian literasi informasi yang sering dikutip adalah pengertian
literasi informasi dari American Library Association (ALA) :
“information
literacy is a set of abilities requiring individuals to “recognize when
information is needed and have the ability to locate, evaluate, and use
effective needed information”.
Artinya bahwa literasi informasi diartikan sebagai
kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkannya,
mengakses dan menemukan informasi, mengevaluasi informasi, dan menggunakan
informasi secara efektif dan etis. (Naibaho, 2007: 7-8)
e.
Ketrampilan kepemimpinan
Setiap pustakawan diharapkan memiliki jiwa dan
ketrampilan kepemimpinan. Menurut Ngalim Purwanto (1993: 26), jiwa Kepemimpinan
sebagai suatu bentuk persuasi, suatu seni pembinaan kelompok orang-orang
tertentu, biasanya melalui ‘human relations’ dan motivasi yang tepat,
sehingga tanpa adanya rasa takut mereka mau bekerja sama dan membanting tulang
memahami dan mencapai segala apa yang menjadi tujuan-tujuan organisasi”.
kepemimpinan merupakan kemampuan untuk membangkitkan semangat orang lain agar
bersedia dan memiliki tanggung jawab total terhadap usaha mencapai atau
melampaui tujuan organisasi. Dengan memiliki jiwa kepemimpinan, seorang
pustakawan dapat mempengaruhi semua orang di sekitarnya dalam arti positif. Hal
ini tidak hanya berguna dalam berhubungan dengan sesama rekan dikantor,
melainkan juga ketika berhubungan dengan pihak luar.
f.
Ketrampilan mengevaluasi
Kegiatan mengevaluasi merupakan salah satu kegiatan
manajemen. Kegiatan ini biasanya didahului dengan kegiatan yang lain yaitu planing
atau perencanaan, disusul implementasi atau
pelaksanaan pekerjaan. Biasanya evaluasi dilaksanakan ketika sebuah
kegiatan sudah dilakukan secara keseluruhan. Namun akan lebih baik jika
evaluasi selalu dilaksanakan tanpa harus menunggu sebuah kegiatan tersebut
selesai. Kegiatan evaluasi dapat dilaksanakan bersamaan dengan planning
diimplementasikan atau dilaksanakan hingga berakhir dengan evaluasi secara
keseluruhan. Dengan kemampuan ini, seorang pustakawan dapat melakukan berbagai
kegiatan yang sedikit sekali terjadi kesalahan. Karena evaluasi bertujuan untuk
mengetahui kekurangan dan kelebihan dalam pelaksanaan kegiatan. Jika terjadi
kekurangan dapat dilakukan perbaikan dan jika terdapat kelebihan dapat terus
ditingkatkan.
g.
Ketrampilan presentasi
Jika kita mengamati pustakawan saat ini, kita patut prihatin sekali
dengan kemampuan mereka dalam presentasi. Presentasi adalah suatu kegiatan
berbicara di hadapan banyak hadirin. Berbeda dengan pidato yang
lebih sering dibawakan dalam acara resmi dan acara politik,
presentasi lebih sering dibawakan dalam acara bisnis.
Tujuan dari presentasi bermacam-macam, misalnya untuk membujuk
(biasanya dibawakan oleh wiraniaga), untuk memberi informasi
(biasanya oleh seorang pakar), atau untuk meyakinkan (biasanya dibawakan oleh
seseorang yang ingin membantah pendapat tertentu).
Agar dapat melakukan presentasi dengan baik, orang sering kali
belajar pada para pakar presentasi. Namun ada juga dengan jalan mengamati pembicara
terkenal yang pandai berbicara di hadapan umum. Para pembicara terkenal di Indonesia
antara lain James Gwee, KH Abdullah Gymnastiar, Tung Desem Waringin, Andrie Wongso,
Gede Prama, dan masih banyak
lagi.
Keahlian berbicara di hadapan hadirin merupakan hal yang sangat
penting bagi siapa pun yang ingin maju. Banyak presiden,
manajer,
wiraniaga, dan pengajar yang menjadi sukses dan terkenal lewat keahlian
berpresentasi.
h.
Ketrampilan promosi/pemasaran
Bagi seorang pustakawan, ketarmpilan promosi atau pemasaran menjadi salah satu ketrampilan yang harus
dimiliki. Karena perpustakaan merupakan salah satu lembaga nirlaba, maka
pemasaran menjadi persoalan yang utama. Jika pustakawan tidak dapat melakukan
kegiatan promosi atau pemasaran, maka dikhawatirkan informasi yang dimiliki
oleh perpustakaan tidak akan pernah sampai kepada pemustaka.
Kotler (1995:13) mengatakan bahwa manajemen pemasaran merupakan
proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi serta
penyaluran barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan
tujuan-tujuan individu dan organisasi. Jika dikaitkan dengan perpustakaan maka,
pertanyaan utamanya adalah siapa pemakai utama perpustakaan, apa yang
dibutuhkan, apa yang dapat dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan pemakai, dan
dengan cara apa pustakawan dapat memenuhi.
Sejumlah pertanyaan tersebut dapat dijadikan dasar dalam menjalankan
aktifitasnya sebagai pustakawan. Sehingga tidak ada lagi alasan bahwa kegiatan
promosi atau pemasaran bukan lagi merupakan kegiatan yang tidak perlu. Justru
sebaliknya sangat diperlukan dan harus dilakukan oleh setiap pustakawan yang
bekerja diperpustakaan.
i.
Subject expertise
Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai keahlian
menganalisis subjek. Maksudnya adalah bahwa seorang pustakawaan dituntut untuk
memiliki kemampuan menganalisa apa kebutuhan dari orang yang berhubungan dengan
perpustakaan. Misalnya dalam kasus kecil menganalisa kebutuhan dari pengunjung
perpustakaan, sehingga ketika para pengguna datang dengan tidak membawa bekal
apapun, dapat diketahui kebutuhan mereka apa, kemudian dapat memberikan layanan
sesuai dengan kebutuhan mereka. Contoh lain misalnya perpustakaan ingin
melakukan perubahan dan pengembangan, maka seorang yang memiliki jiwa ini, dia
dapat langsung merespon kebutuhan apa saja yang dibutuhkan dan harus melakukan
apa untuk memenuhinya.
j.
Ketrampilan
penelitian/penulisan
Menulis merupakan ekspresi dan eksistensi diri, sudah selayaknya
seorang pustakawan memiliki kemampuan menulis. Seperti kita tahu bahwa kegiatan
penulisan turut andil besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan
profesi dan kemajuan seseorang. Menurut l
Lasa HS (2009:1) mengatakan bahwa ilmuwan termasuk pustakawan yang tidak
memiliki kemampuan menulis ibarat burung bersayap satu. Yang dapat
dilakukannya hanyalah terbang dari satu
dahan ke dahan yang lain. Ilmuwan yang memiliki kemampuan menulis ibarat burung
bersayap dua. Burung tersebut mampu terbang kemanapun dia mau bahkan terbang
antar benua. Ini berarti bahwa seorang ilmuwan yang memiliki kemampuan menulis
mencapai keberhasilan sesungguhnya, sebab semua gagasan, ide, pemikiran dan
hasil penelitian dapat diketahui dan digunakan oleh masyarakat.
Sebagaimana kita tahu bahwa pustakawan memiliki pengalaman yang luar
biasa banyak, namun sebagian besar pustakawan tidak mau menulis. Dari bahan
kuliah yang sederhana saja, sebenarnya dapat dijadikan buku untuk menambah dan
memperbanyak khazanah kelimuan perpustakaan. Namun kebanyakan pustakawan beralasan
bahwa mereka adalah pustakawan bukan penulis. Sementara itu, banyak sekali majalah
ilmu perpustakaan dan informasi yang mengeluh kekurangan naskah
(Sulistyo-Basuki: 2006:12). Ini menjadi realita dalam dunia pustakawan kita.
Ini juga menjadi tantangan yang sekaligus juga menjadi peluang bagi para
pustakawan, jika kita semua senantiasa berusaha untuk belajar menulis,
mengekspresikan diri melalui tulisan untuk memberi warna dalam dunia pustakawan
kita.
k.
Ketrampilan mengajar
Ketarmpilan mengajar harus dimiliki oleh seorang
pustakawan yang professional. Baik langsung atau tidak langsung, kemampuan ini
sangat dibutuhkan oleh seorang pustakawan dalam menularkan ilmunya kepada orang
lain. Minimal dalam memberitahukan
kepada pengunjung mengenai segala hal yang terkait dengan perpustakaan,
misalnya peraturan, tata tertib, kebijakan, dan lain sebagainya. Jika seorang
pustakawan tidak memiliki ketrampilan dalam mengajar, sangat dimungkinkan
pengunjung perpustakaan tidak dapat mengeksplor perpustakaan dengan maskimal.
Untuk memperoleh ketrampilan ini, seorang pustakawan dapat belajar melalui
buku, internet, ataupun juga bertanya bagaimana cara mengajar kepada
pustakawan-pustakawan senior, ataupun juga dapat bertanya langsung kepada para
pengajar ditempat dimana pustakawan bekerja, pada dosen atau guru dapat menjadi
alternatif bagi pustakawan untuk memperoleh ketrampilan dalam mengajar.
2.
Meningkatkan dan menambah ilmu
pengetahuan
a.
Pendidikan Formal
Untuk meningkatkan pengetahuan para pustakawan dapat
dilakukan melalui pendidikan formal kepustakawanan. Upaya lintas dapat
dilakukan dengan berbagai kursus penyetaraan, pelatihan dengan kuot jam
tertentu walaupun kemudian banyak dikritik perguruan tinggi dan lembaga
pendidikan pustakawan. Menurut Sulistyo Basuki (2006:11) mengatakan bahwa jika
berpegang pada konsep pustakawan professional dan menghadapi Asean Free
Trade Area (AFTA), yang diusulkan berlaku tahun 2020 dan dilakukan
percepatan tahun 2015, maka lambat atau cepat AFTA akan diikuti oleh pergerakan
tenaga kerja lintas batas Negara seperti Uni Eropa sekarang. Oleh sebab itu
lembaga pendidikan harus menghasilkan pustakawan yang memiliki kemampuan
keilmuan berbahasa minimal inggris dan penguasaan teknologi. Setidaknya tenaga
yang mampu mengikuti AFTA adalah tenaga yang professional yang memiliki ijazah
ilmu perpustakaan dan informasi minimal s1 ilmu perpustakaan dan informasi.
Oleh sebab itu, sangat penting bagi pustakawan untuk senantiasa manambah
pengetahuan melalui pendidikan formal. Namun yang terjadi dilapangan terkadang
sebaliknya, lembaga atau pimpinan seringkali berifikir instant mereka
lebih senang mengirimkan tenaga non pustakawan yang memiliki ijazah sarjana non
pustakawan untuk mengikuti diklat pustakawan yang hanya 4 bulan selesai,
dibandingkan harus mengirimkan tenaga yang lulusan SMA atau sarjana untuk
mengikuti pendidikan pustakawan secara penuh. Banyak pertimbangan yang menjadi
alasan para pimpinan dalam hal ini, misalnya biaya, waktu dan lain sebagainya.
Mudah-mudahan ke depan para pimpinan sadar bahwa kebutuhan pustakawan yang
berkualitas yang ditunjang dengan pendidikan profesional pustakawan sangat
diperlukan dalam jangka panjang dibandingkan dengan pengiriman tenaga sarjana
non pendidikan pustakawan untuk mengikuti diklat penyetaraan, apapun alasanya.
b.
Pendidikan Non Formal
Memperoleh ilmu
pengatahuan dapat dilakukan oleh para pustakawan untuk terus meningkatkan
profesionalimenya dalam bekerja. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa
pendidikan nonformal dapat dilakukan setelah pendidikan secara formal sudah
didapatkan. Ini berarti bahwa pendidikan non formal hanya dilakukan sebagai
sarana untuk menambah ilmu pengetahuan, karena untuk menjadi seorang pustakawan
yang profesional harus mengenyam pendidikan minimal D2 Ilmu perpustakaan di
tambah dengan Diklat sistem 36 jam. Ini berarti bahwa, bagi seorang pustakawan
pendidikan formal adalah lebih utama dibandingkan dengan pendidikan nonformal.
Pendidikan nonformal misalnya pendidikan bahasa inggris, pendidikan komputer,
kursus pemrograman, kursus ketrampilan dan lain sebagainya yang sebenarnya
tidak termasuk dalam kurilkulum pendidikan formal perpustakaan namun hal ini
dapat menambah kemampuan bagi para pustakawan.
DAFTAR PUSTAKA
Sutarno NS, 2005.
Tanggungjawab perpustakaan dalam
mengembangkan masyarakat informasi, Jakarta : Panta Rei
Suwarno, Wiji, 2010. Ilmu Perpustakaan dan Kode Etik Pustakawan. Jakarta: Arruz Media
Sulistyo-Basuki. 2006. Upaya
meningkatkan peran pustakawan dalam mendukung kinerja perpustakaan. Media
Pustakawan : Media Komunikasi Antar Pustakawan. 12 (3-4) September/Desember
2005 : 11-12
Lasa H.S. 2009. Menulis itu
ekspresi dan Eksistensi Diri. Jogjakarta:Makalah Pelatihan bagi sivitas akademika UGM.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Purwanto, M. Ngalim. 1993. Psikologi Pendidikan, Bandung:Remaja
Rosda Karya
Kotler.
Philips. 1995. Manajemen Pemasaran : Analisis Perencanaan, Implementasi dan
Pengendalian. Jakarta : Salemba Empat.
Diterbitkan Oleh : Media Pustakawan Tahun 2012
No comments:
Post a Comment